Latah Menjama’ Maghrib-Isya’

Latah Menjama’ Maghrib-Isya’

Oleh: Buya Soni

Tiap menjelang perpindahan musim kemarau ke musim hujan, beberapa masyarakat menjadi “latah”

Disini, latah diartikan sebagai ikut2an, padahal hanya sekadar ikut2an yang tidak di ilmui, yang diikuti pun, tak jelas.

Hloh kok tak jelas ? Iya, tak jelas ikut ulama’ siapa.

“Ini hujaaannnn, ayo menjama’ maghrib dan isya”

Semudah itukah ?

Baca sampai tuntas ya…

  1. Menjama’ dua sholat karena alasan hujan merupakan syariat Nabi Muhammad saw.

أَنَّ أَبَاهُ عُرْوَةَ وَسَعِيْدَ بْنَ المُسَيَّبَ وَأَبَا بَكْرٍ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنَ الحَارِثِ بْنَ هِشَام بْنَ المُغِيْرَةَ المَخْزُوْمِي كَانُوْا يَجْمَعُوْنَ بَيْنَ المَغْرِبِ وَالعِشَاءِ فِي اللَّيْلَةِ المَطِيْرَةِ إِذَا جَمَعُوْا بَيْنَ الصَّلاَتَيْنِ وَلاَ يُنْكِرُوْنَ ذَلِكَ

“Sesungguhnya ayahnya (Urwah), Sa’id bin Al Musayyib, dan Abu Bakar bin Abdur Rahman bin Al Harits bin Hisyam bin Al Mughiroh Al Makhzumi biasa menjama’ shalat Maghrib dan Isya’ pada malam yang hujan apabila imam menjama’nya. Dan mereka tidak mengingkari hal tersebut.” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro 3: 169).

أخبرنا أبو الحسن الشيزي, أنا زاهر بن أحمد, أنا أبو إسحاق الهــــــــاشمي , أنا أبو مصعب , عن مالك , عن أبي الزبير المكي , عَنْ سَعِيْدِ بْنِ جُبَيْر : عَنْ ابْنِ عَبَّاس أَنَّهُ قَالَ : صَلَّى رَسُوْلُ اللهِ صلّى الله عليه و سلّم  الظُّهْرَ وَالعَصْرَ جَمِيْعًا, وَ المَغْرِبَ وَالعِشَاءَ جَمِيْعًا, فِيْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ سَفَرٍ, قَالَ مَالِكُ : أَرَى ذَلِكَ كـَانَ فِيْ مَطَرِ .

Dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas ia berkata : “Bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam menjama’ antara shalat Zuhur dan Asar dan antara shalat Magrib dan isya’ di luar waktu yang menakutkan dan di luar waktu safar. Malik berkata : saya berpendapat itu adalah pada waktu hujan.”  (HR. Bukhari, Muslim, Malik)

  1. Tapi ingat, Syarat dan Ketentuan Berlaku. Apa saja syaratnya ?

(ويجوز للحاضر) أي المقيم (في) وقت (المطر أن يجمع بينهما) أي الظهر والعصر، والمغرب  والعشاء، لا في وقت الثانية، بل (في وقت الأولى منهما) إن بَلَّ المطرُ  أعلى الثوب وأسفل النعل، ووجدت الشروط السابقة في جمع التقديم.

Diperbolehkan bagi orang yang hadir (maksudnya : orang muqim yakni orang yang sedang dirumah, bukan orang yang sedang bepergian) pada saat  hujan untuk menjamak antara dua shalat, yakni dhuhur dan ashar, maghrib dan isya’, bukan (dilaksanakan) di (waktu) shalat yang kedua, tetapi (dilaksanakan) di (waktu) shalat yang pertama dari keduanya. (dengan  syarat) jika air hujan membasahi bagian atas pakaian/baju dan bagian  bawah sandal/alas kaki. Dan terdapat syarat yang telah (disebutkan) terdahulu di (dalam masalah) jamak taqdim

ويشترط أيضا وجود المطر في أول الصلاتين، ولا يكفي وجوده في أثناء الأولى منهما.  ويشترط أيضا وجوده عند السلام من الأولى، سواء استمر المطر بعد ذلك أم لا.

وتختص رُخصة الجمع بالمطر بالمصلي في جماعة بمسجد أو غيره من مواضع الجماعة بعيد  عرفا، ويتأذى الذاهب للمسجد أو غيره من مواضع الجماعة بالمطر في طريقه

Disyaratkan juga bahwa hujan sudah turun di permulaa shalat, tidak cukup ketika wujudnya hujan turun di pertengahan shalat pertama dari dua shalat. Dan disyaratkan pula wujudnya hujan ketika  salam dari shallat yang pertama, baik (hujan) terus menerus (turun) setelah itu atau tidak.

Dan dispensasi/keringanan menjamak (shalat) yang disebabkan hujan itu dikhususkan/tertentu bagi  orang yang shalat secara berjamaah di masjid atau selainnya di  tempat-tempat jamaah yang jauh secara ‘urf. Dan orang yang berangkat ke masjid atau yang lain dari tempat jamaah merasa terganggu dengan hujan di dalam perjalanannya. (Fathul Qorib)

Kesimpulan

Jadi, intinya, keringanan berupa Sholat Jama’ Taqdim karena hujan dapat diambil jika hujannya sangat deras, dan terdapat masyaqqoh (kesulitan) yang sangat.

Dengan kondisi jaman sekarang ? Payung dan mantol tersedia, jarak masjid dan rumah dekat, jalan teraspal, apakah termasuk dalam “masyaqqoh” ? Ayo diangen2 bareng2…