Kisah Kehebatan Fathul Qorib

Kisah Kehebatan Fathul Qorib

Oleh Gus Ahmad Rifai

Fathul Qorib, kitab yang tentu tak asing lagi dikalangan kaum santri. Pengarangnya, Syekh Ibnu Qoshim al Ghozzi men_syarah_i (menjelaskan) kitab matan Taqrib karangan Imam Abu Syuja’ dengan sangat gamblang. Dalam bentuknya yang sangat kecil, fathul qorib memuat hampir semua kandungan fiqh dari mulai ibadah, mu’amalah, nikah sampai jinayat dan lain sebagainya. Kelebihan lainnya adalah dengan memberikan ta’rif pada hampir semua bab dari thoharoh sampai ‘itq mulai dari tinjauan lughot (bahasa) sampai syara’. Salah satu yang menjadi ciri khas dari matan Taqrib, karya Abu Syuja’ adalah adanya beberapa pendapat yang beliau sampaikan tidak merupakan pendapat mayoritas. Dapat dimaklumi, karena beliau hidup sebelum zaman Imam Nawawi, seperti contoh beliau memasukkan نية الخروج من الصلاة kedalam rukun sholat. Toh demikian, beliau dan Ibnul Qoshim juga memberikan argumentasi dengan hebat sehingga ulama yang berbeda pendapat dengan beliau pun merasa segan.

Berkat keikhlasan beliau, kitab fathul qotib syarah matan taqrib pun menjadi primadona di seluruh pesantren di seluruh penjuru dunia. Dan ternyata, fathul qorib memiliki kehebatan, bukan hanya dari segi mencerdaskan masyarakat di bidang fiqih, bahkan jika dipegang oleh Ulama yang hebat, ia bisa menjadi solusi atas segala problem.

Saya mengutip mauidzoh hasanah dari Mustasyar PBNU, KH. Dimyathi Rois Kaliwungu, Kendal dalam acara Ikhtitaam Mahally Mutakhorijin Madrasah Aliyah Ponpes Al Fadllu  2013-2014, Ahad, 7 Rojab 1439 H/25 Maret 2018.

Beliau menyampaikan, dimasa perundingan untuk menyelesaikan masalah antara Irian Barat dan Belanda yang sangat alot dan selalu gagal, Presiden RI, Ir. Soekarno menghubungi KH. Wahab Hasbullah yang saat itu menjabat Rais ‘Aam Nahdlatul Ulama yang juga Penasehat Presiden RI.

Bung Karno menanyakan bagaimana hukumnya orang-orang Belanda yang masih bercokol di Irian Barat, wilayah teritorial Indonesia. Mendengar pertanyaan tersebut, Kyai Wahab menjawab tegas, “Hukumnya sama dengan orang yang ghoshob.” “Apa artinya ghoshob, Kiai?” Tanya Bung Karno.

“Ghoshob itu

إستحقاق مال الغير بغير إذنه

yaitu menguasai hak milik orang lain tanpa ijin,” terang Kiai Wahab.

“Lalu bagaimana solusi menghadapi orang yang ghoshob?” Tanya Bung Karno lagi.

“Adakan perdamaian, ”tegas Kiai Wahab.

Lalu Bung Karno bertanya lagi, “Menurut insting Kiai, apakah jika diadakan perundingan damai akan berhasil?” “Tidak,” jawab Kiai Wahab “Lalu, kenapa kita tidak potong kompas saja, Kiai..?” Tanya Bung Karno sedikit memancing. “Tidak boleh potong kompas dalam syari’ah,” kata Kiai Wahab.

Selanjutnya, Bung Karno mengutus Soebandrio mengadakan perundingan yang terakhir kali dengan Belanda untuk menyelesaikan konflik Irian Barat. Perundingan ini pun sesuai dengan insting Kyai Wahab, yaitu gagal. Kegagalan ini pun disampaikan Bung Karno kepada Kiai Wahab. “Kiai, apa solusi selanjutnya menyelesaikan masalah Irian Barat?”

“أخده قهرا

“Ambil, kuasai dengan paksa!” jawab Kiai Wahab tegas.

“Sebenarnya, apa rujukan Kiai untuk memutuskan masalah ini?”

“Saya mengambil literatur kitab Fathul Qorib dan syarahnya (Al-Bayjuri).”

Setelah itu, barulah Bung Karno membentuk barisan Trikora (Tiga Komando Rakyat) untuk diberangkatkan merebut Irian Barat dan hingga pada akhirnya Indonesia pun berhasil mengusir Belanda dari tanah yang ia ghosob.

Kita bisa membayangkan, jika Fathul Qorib yang notabene merupakan kitab fikih dasar di pesantren dan madrasah diniyyah, bisa dikontekstualisasikan untuk menyelesaikan masalah internasional seperti kasus Irian Barat, bagaimana dengan kitab-kitab lain yang level pembahasannya lebih tinggi, kompleks dan mendalam?

Wallahu a’lam bis showab