Dalam Fiqih, Ahlussunnah wal Jama’ah berpedoman kepada salahsatu dari 4 madzhab sebagai konsekuensi umat zaman akhir yang tidak mungkin mencapai kedudukan mujtahid (orang yang diizinkan berijtihad). Adapun dalam mengikuti 4 madhzab tersebut, tanpa mencampur adukkan antar madzhab (talfiq).
Allah ta’ala berfirman :
وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ ۖ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Kami tiada mengutus rasul rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang-laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.” (QS. An Nahl:43)
Menurut para Ulama’ Ahli Tafsir, ayat ini merupakan dalil yang wadlih (jelas) tentang kewajiban bagi orang yang belum mengetahui untuk bertanya kepada orang yang mengetahui.
Dalam menafsirkan ayat ini, Al Hafidz Al Imam Jalaluddin Abul Fadhl Abdurrahman bin Abu Bakar as Suyuthi Asy Syafi’i menyebutkan sebuah hadits sebagai berikut :
عَنْ جَابِر رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم لَايَنْبَغِيْ لِلْعَالِمٍ أَنْ يَسْكُتَ عَلَى عِلْمِهِ وَلَايَنْبَغِيْ لِلْجَاهِلِ أَنْ يَسْكُتَ عَلَى جَهْلِهِ
Dari Jabir ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Tidak semestinya bagi orang ‘alim untuk diam atas ilmunya, juga tidak semestinya bagi orang yang tidak mengetahui untuk diam atas ketidaktahuannya.” (HR. Thabrani) (Tafsir al Durr al Mantsur jilid 9 hal. 52)