Alasan ‘si Dia’ Menyalahkan Yasinan

Alasan ‘si Dia’ Menyalahkan Yasinan

Part 1 : Yasinan Bid’ah

Oleh Gus Ahmad Rifai

Tema kita kali ini adalah kita akan memberikan jawaban dari alasan ‘si dia’ yang menyalahkan Yasinan. Seiring berjalannya waktu, kita akan membuktikan bahwa alasan-alasan yg digunakan untuk menyalahkan yasinan adalah alasan yg mengada-ada, karena berulang kali kita jelaskan sesuai permintaannya yaitu dengan Hadits dan Pendapat Ulama Salaf, ‘si Dia’ tetep aja gak mau ikut Yasinan. huehuehe. senyum, kalem.

Bismillah walhamdulillah

‘si Dia’ bilang bahwa Yasinan itu tidak ada dalilnya, bid’ah !

Nabi Muhammad saw tidak pernah melakukan, maka melakukan suatu ibadah yang tidak dilakukan Nabi itu berdosa.

Ditambah lagi Nabi Muhammad saw ketika wafat, Sahabat Abu Bakar dan kawan2 tidak ada yang yasinan untuk Nabi, dst.

Benarkah demikian?

Sengaja tulisan ini saya buat relatif panjang, supaya penjelasannya bisa secara utuh dan tidak ada lagi celah untuk menyalahkan Yasinan karena alasan Bid’ah. Ayo budayakan membaca sampai tuntas, biar gak gagal paham.

  1. Hadits tentang Bid’ah

فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad saw. Sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan, setiap yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR. Muslim no. 867)

dalam riwayat an Nasai terdapat tambahan redaksi

وَكُلَّ ضَلالَةٍ فِي النَّارِ

“….dan setiap kesesatan itu didalam neraka.” (HR. Nasai no. 1578)

  • Makna ُّكُل yang dalam kamus bahasa Indonesia berarti semua.

ternyata dalam tata bahasa arab, kata-kata “kullu” tidak selalu bermakna semua. “Kullu” juga bisa bermakna sebagian.

Sebagaimana didalam Al Quran Allah swt berfirman.

أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا

Adapun kapal itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas semua kapal.

Pada ayat tersebut Allah swt menerangkan bahwa yang dirampas oleh raja yg dzolim adalah semua kapal, padahal kita semua tau bahwa yang dirampas oleh raja tidaklah semua kapal, tapi hanya sebagian saja, yaitu kapal yang baik dan layak pakai. Sehingga dalam kisahnya, Nabi Khidir as. melubangi kapal tersebut agar tidak dirampas oleh raja yang dzolim tersebut.

Sesuai dengan keterangan Imam Ibnu Jarir at Thobari dalam Kitab Tafsir beliau.

وكان وراءهم ملك يأخد كل سفينة غصبا

dan dibelakang mereka terdapat raja yang mengambil semua kapal yang bagus.

Ada kata sifat yang ‘disimpan’ oleh Allah swt. Sehingga yang dirampas bukan semua kapal, tapi hanya sebagian saja yaitu kapal yang bagus dan layak.

Hayo, siapa yang masih mêtêntêng (memaksa) bahwa kullu itu pasti semua.

Ayo buka lagi kitabnya.

  • Arti ‘kullu’ menurut ilmu balaghoh

setelah kata كل dilanjutkan dengan kata بدعة (bid’ah), bid’ah adalah kata benda, maka ia memerlukan sebuah kata sifat dengan tujuan menjelaskan mengenai apa yang dimaksud.

Dalam Ilmu Balaghoh dikatakan :

حدف الصفة على الموصوف

“membuang (menyimpan) kata sifat dari benda yang bersifat.”

Sehingga jika dipahami secara utuh, hadits tersebut berbunyi :

كُلَّ بِدْعَةٍ (سَيِئَةٍ) ضَلاَ لَةٌ

Semua bid’ah (yang jelek) itu sesat

Tidak semua bid’ah sesat, tapi sebagian bid’ah sesat.

  • Arti ‘kullu’ menurut ilmu nahwu

Kata setelah ‘kullu’ adalah بدعة (bid’ah). Dalam ilmu nahwu bid’ah termasuk dalam kategori isim nakiroh (yaitu kata benda umum yang masih memerlukan penjelasan)

Lebih lanjut, kaidah ilmu nahwu menentukan bahwa apabila terdapat kata ‘kullu’ yang disambung dengan isim nakiroh maka ia perlu dijelaskan dengan membuat pengecualian.

Mengenai hal ini, ulama sekaliber Imam Nawawi rhm. menjelaskan :

قَوْلُهُ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ هَذَا عَامٌّ مَخْصٍُوْصٌ وَالْمُرَادُ غَالِبُ الْبِدَعِ .

“Sabda Nabi saw, “Kulla bid’atin dlolalah” ini adalah ‘Amm Makhshush, yaitu kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Jadi yang dimaksud adalah sebagian besar bid’ah itu sesat, bukan seluruhnya.” (Syarh Shahih Muslim, juz 6 hal. 154).

  • Kesimpulan

Jadi jelas ya, bahwa kata ‘kullu’ dalam hadits diatas bisa berarti semua dan bisa berarti sebagian.

Sehingga makna hadits secara utuh adalah :

Semua bid’ah (yang jelek) adalah sesat atau Sebagian bid’ah adalah sesat

Jangan sampai kita salah paham memahami hadits.

  1. Adakah bid’ah yang baik / bid’ah hasanah ?
  • Hadits ‘semua amalan tertolak’

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada bersumber darinya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)

Coba di angên2 dan dipahami bersama. Amalan yang dikatakan oleh Nabi saw sebagai amalan yang tertolak adalah amalan baru yang tidak bersumber / tidak ada dalilnya dalam agama.

Apabila dipahami dengan sudut pandang yang lain, menjadi mafhum (dapat dipahami) bahwa apabila terdapat sesuatu yang baru yang bersumber dari agama, maka ia tidak tertolak.

Melalui hadits ini secara tidak langsung Rasul Muhammad saw. menjelaskan bahwa terdapat sesuatu yang baru (bid’ah) yang tertolak dan diterima.

  • Hadits ‘sunnah hasanah dan sunnah sayyiah’

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

Rasulullah saw. bersabda: “Siapa yang melakukan sesuatu yang baru yang baik (hasanah) dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang melakukan sesuatu yang baru yang buruk (sayyiah) dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” (HR Muslim no. 4830)

Secara gamblang Rosul Muhammad saw menjelaskan kepada kita bahwa orang yang mencontohkan perbuatan baru yang baik, maka ia mendapatkan kebaikan. Barangsiapa mencontohkan perbuatan baru yang buruk, maka ia mendapatkan keburukan pula.

  • Fatwa Ulama Salaf tentang Bid’ah

Yuk kita ‘intip’ fatwa Imam Syafi’i tentang Bid’ah :

قاَلَ الشّاَفِعِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -ماَ أَحْدَثَ وَخاَلَفَ كِتاَباً أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعاً أَوْ أَثَرًا فَهُوَ البِدْعَةُ الضاَلَةُ ، وَماَ أَحْدَثَ مِنَ الخَيْرِ وَلَمْ يُخاَلِفُ شَيْئاً مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ البِدْعَةُ المَحْمُوْدَةُ

Imam Syafi’i ra berkata, “Segala hal yang baru dan bertentangan dengan Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ dan Atsar (pernyataan para sahabat) adalah bid’ah yang sesat (bid’ah dholalah). Dan segala hal yang baru yang bersifat kebaikan dan tidak bertentangan dengan pedoman tersebut maka ia adalah bid’ah yang terpuji (bid’ah mahmudah atau bid’ah hasanah.” ?(Hasyiah Ianah al Thalibin Juz 1 hal. 313)

  1. Jadi, benarkah Yasinan itu Bid’ah ?

Jika bid’ah dimaknai sebagai ‘sesuatu yang baru yang tidak ada dizaman Nabi’ dan praktek Yasinan yang dimaksut adalah sebagaimana yang dilakukan mayoritas umat Islam di Indonesia, maka jawabannya betul bahwa Yasinan itu Bid’ah.

Tapi ingat, bid’ah ada yang dholalah dan ada yang hasanah.

Yasinan setelah melalui penelitian dan pembahasan panjang lebar termasuk sebagai bid’ah hasanah karena isi / substansi dari Yasinan tidak bertentangan dengan Al Quran dan Hadits, bahkan didalamnya terdapat banyak sunnah Nabi saw yang dikerjakan.

– Bersambung –